Bulu Mata
Purbalingga Menyihir Dunia
Senin, 2 Juni 2014 | 15:18 WIB
KOMPAS/HENDRA
A SETYAWAN Proses pembuatan bulu mata di pabrik Best Lady, Kabupaten
Purbalingga, Jawa Tengah, Rabu (6/5/2014).
KOMPAS.com - Tak ada yang menyangkal lentik
bulu mata bintang pop dunia seperti Madonna dan Katy Perry telah menyihir
dunia. Begitu juga mata Olga Lydia dan gadis-gadis Cherrybelle. Kelentikan itu
diproduksi di kota kecil Purbalingga, Jawa Tengah.
Bulu mata palsu, bagi presenter Olga Lydia,
merupakan elemen penting penampilan. Tanpa bulu mata palsu, dia merasa ada
sesuatu yang kurang. Olga mengenal bulu mata palsu sejak terjun ke dunia model.
Bagi dia, bulu mata palsu membantu meminimalkan kekurangannya. ”Bulu mata saya,
kan, kurang banyak, jadi harus dibantu dengan menggunakan bulu mata palsu,”
ujarnya.
Meski begitu, tidak mudah menemukan bulu mata
palsu yang sesuai dengan keinginannya. Beberapa syarat bulu mata yang pas bagi
Olga adalah ringan, nyaman dipakai, dan dapat digunakan dalam setiap
kesempatan, baik siang maupun malam.
”Kadang memakai bulu mata palsu bisa membuat
mata merah. Apalagi kadang ada yang sampai harus didobel-dobel segala pakainya,
jadinya berat. Akibatnya, mata menjadi merah,” kata Olga.
Bulu mata palsu yang seperti itu sangat
dihindari oleh Olga. Sebab, meski memakai bulu mata palsu, dia ingin tetap
dapat membaca buku dengan durasi yang cukup lama. ”Kalau bulu matanya berat,
mau berlama-lama membaca jadi susah,” ujar Olga.
Begitu pula bagi presenter televisi Hilyani
Hidranto, bulu mata merupakan elemen penting penampilan, terutama saat dia
muncul di layar kaca. ”Bulu mata saya sudah cukup panjang, sih. Namun, jika
untuk keperluan shooting, tetap perlu memakai bulu mata palsu. Jadi, kelihatannya
lebih ngoook gitu. Maksudnya, lebih kelihatan di kamera,” ujar Pemenang Wajah
Femina tahun 2007 ini seraya terkekeh.
Menghidupi
rakyat
Bulu mata palsu menghidupi ribuan warga
Purbalingga. Salah satunya adalah Khotik (36). Ini adalah pekerjaan yang rumit.
Saat ditemui Kompas, Kothik sedang mencabut tiga helai rambut dari kumpulan
potongan rambut yang terbungkus kertas. Ia lalu menekuk ketiga helai rambut itu
dan memegangnya dengan tangan kiri. Dengan bantuan alat di tangan kanannya,
rambut itu dipasang pada seutas benang yang ujung-ujungnya terikat dengan paku.
Dengan gerakan sigap, ketiga helai rambut itu sudah terikat dalam satu simpul
di benang tersebut.
Gerakan-gerakan ini ia ulangi sambil mengatur
jarak antarsimpul. Dalam jarak 1 sentimeter (cm), ia harus memasang 30 simpul
rambut di benang. Total ia harus memenuhi jarak 3,3 cm dengan simpul-simpul
rambut sebagai cikal bakal bulu mata. Pekerjaan yang terkesan sederhana, tetapi
sebenarnya tidak mudah dilakukan, terutama bagi pekerja baru.
Ini baru satu tahap. Ada lebih dari 10
tahapan untuk membuat sepasang bulu mata, mulai dari membersihkan rambut,
menyortir, mewarnai, menautkan, memotong, melentikkan, membentuk, hingga
mengepak. Sebagian besar dikerjakan oleh perempuan, baik di pabrik maupun rumah-rumah
dalam konsep plasma yang tersebar di Purbalingga.
Siti (45), warga Desa Limbangan, Kecamatan
Kutasari, kebagian pekerjaan menggunting bakal bulu mata. Simpul-simpul yang
telah tersusun kemudian dibentuk dengan cara menggunting satu demi satu helai rambut.
Misalnya, jika dalam satu simpul terdiri atas lima helai, Siti akan menggunting
helai pertama dan kelima seperempat helai teratas yang panjangnya 1 cm. Helai
kedua dan kelima dipotong separuhnya. Helai ketiga dibiarkan. Ada ratusan model
dan bentuk dalam dunia bulu mata palsu.
Upah Khotik, yang tinggal di Desa Pengadegan,
Kecamatan Pengadegan, mendapat upah Rp 333 untuk setiap bulu mata yang
dibuatnya, sementara Siti menerima upah Rp 285 per buah. Ini jika pekerjaan
keduanya dianggap sempurna. Jika tidak, bulu mata harus diperbaiki atau mereka
tidak dibayar.
Jika tingkat kesulitan lebih tinggi,
pekerjaannya dihargai sedikit lebih mahal. Namun, bukan berarti keduanya lalu
giat mengejar setoran. ”Kalau dulu bisa kerja sampai pukul 22.00, sekarang mblenger,
empat jam juga sudah berhenti,” kata Khotik yang mulai membuat bulu mata sejak
18 tahun lalu.
Ada ribuan perempuan lain di Purbalingga yang
menggerakkan roda usaha bulu mata, baik skala rumahan maupun pabrik. Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Purbalingga mencatat, ada 33 industri bulu mata
palsu di Purbalingga dengan 18 industri di antaranya adalah usaha penanaman
modal asing. Ini ditambah ratusan plasma yang bekerja sama dengan industri
besar. Tidak kurang 50.000 tenaga kerja lokal terserap ke sektor ini.
”Bicara bulu mata, hampir semua yang beredar
di Amerika Serikat, Eropa, hingga Afrika berasal dari Purbalingga meski
kemudian diberi merek oleh perusahaan rekanan di sana,” ujar Audrie Sukoco,
Presiden Direktur PT Bintang Mas Triyasa (BMT), pabrik bulu mata di Kelurahan
Mewek, Kecamatan Purbalingga.
Tidak heran jika produk bulu mata tiruan dari
Purbalingga tidak hanya dipakai selebritas Indonesia, tetapi juga artis-artis
Hollywood, mulai dari generasi Madonna hingga Katy Perry. Artis yang terakhir ini
menggunakan produk Eyelure, varian produk PT Royal Korindah, perusahaan bulu
mata tertua di Purbalingga.
Banyak produsen kecantikan dunia juga
menggunakan produk yang dihasilkan tangan-tangan cekatan perempuan Purbalingga,
di antaranya L’Oréal, Shu Uemura, MAC, Kiss, Make Up For Ever, dan Maybelline.
Industri bulu mata di Purbalingga disebut-sebut hanya kalah besar dari industri
sejenis di Guangzhou, Tiongkok.
Namun, untuk bulu mata berbahan baku rambut
manusia, menurut sepengetahuan pemilik pabrik bulu mata PT Shinhan Creatindo,
Yuni Susanawati, produk jenis itu hanya dihasilkan oleh Indonesia. Tiongkok
hanya memproduksi bulu mata tiruan sintetis. Demikian pula produsen lain
seperti Vietnam.
Dalam sebulan, rata-rata 10 juta pasang bulu
mata tiruan dari Purbalingga dikirim ke seluruh penjuru dunia, seperti tercatat
pada 2010. Nilai ekspornya pada tahun itu mencapai Rp 851,01 miliar. Kebutuhan
pasar luar negeri sangat besar karena penggunaan bulu mata di sana menjadi
kebutuhan sehari-hari.
Sayangnya, di dalam negeri pasar bulu mata
belum begitu berkembang. Ini salah satu alasan BMT membangun merek sendiri dan
menggandeng sejumlah artis terkemuka sebagai duta produknya, seperti Olga
Lidya, Syahrini, dan Cherrybelle. Mereka ingin mengedukasi masyarakat tentang
penggunaan bulu mata. Meski demikian, pendapatan utama BMT masih berasal dari
ekspor ke sejumlah negara yang mencapai satu juta pasang per bulan. Semuanya
dalam kemasan tanpa merek. Hal itu dilakukan hampir semua perusahaan lain.
Industri
Industri bulu mata mulai muncul di
Purbalingga dengan kehadiran PT Royal Korindah (dulu Royal Kenny) pada 1967.
Sang pemilik usaha, Hyung Sang Lee, memindahkan usaha bulu mata dari negaranya,
Korea Selatan (Korsel), karena semakin ketatnya persaingan dan sulitnya mencari
tenaga terampil.
Kesuksesan Royal Korindah diikuti berdirinya
pabrik-pabrik baru yang dimiliki pengusaha Korsel lainnya. Pendirian itu
mengajak mitra yang di kemudian hari membuka usaha sendiri. Pada tahun 2000-an,
perusahaan lokal mulai berdiri.
”Pada tahun 1970-an, Purbalingga sudah
dikenal dengan kerajinan berbahan baku rambut, seperti rambut sanggul. Selain
itu, orang di sini juga dikenal tekun, sabar, teliti, dan terampil,” kata Budi
Wibowo (54), pengusaha bulu mata lokal.
Uniknya, meski bulu mata palsu Purbalingga
telah mendunia, para perempuan pembuatnya belum tentu ikut memakainya. Bahkan,
tidak sedikit yang tidak mengetahui wujud jadi bulu mata tiruan. ”Jangankan
pakai bulu mata palsu, lihat jadinya saja belum pernah,” kata Khotik terkikik.
(DOE)
Editor
: Erlangga Djumena
Sumber: KOMPAS CETAK
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/06/02/1518008/Bulu.Mata.Purbalingga.Menyihir.Dunia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar